Kamis, 26 September 2013

MR.YYS dan para diary kecil

Kata orang, untuk jadi penulis itu gak cuman belajar dari nulis cerpen, novel ataupun puisi. Tapi dengan menulis diary  juga sudah menjadi sebuah pelatihan sejak dini. Sebut saja aku, aku sejak SD -saat ingus masih senang bergelantugan di hidung pesekku-. Aku suka sekali menulis, menulis diary. Karena dengan menulis diary, aku bisa mengungkapkan isi hatiku.
Dan itulah awal kisah cintaku pada sebuah  buku kecil bernama diare, maksudku diary. Sejak kecil aku sudah senang berdialog denga buku itu. Meski bukan dengan obrolan, namun hanya kata-kata betapa aku tengah bercerita padanya.
“Diary, kamu tauk. Hari ini aku sedih” mimikku berubah sedih, sedikit berkaca-kaca tapi masih berusaha menghapus ingus -lagi-. Sedang si diary masih terdiam.
Aku melanjutkan tulisanku dengan untaian seadanya, namanya juga anak SD. Bercerita ala kadarnya. “Sedih skali karena harus berpisah dengan mereka. Apa nanti aku bisa nemu yang lain? Yang kayak mereka?” diakhir aku sering menyisipkan tanda tangan yang lebih mirip sandi rumput.
Hampir setiap hari aku membuka diary, terkadang hanya sekedar membaca saja. Tapi bila saatnya aku ingin menulis, aku bisa menulis berlemba-lembar. Dan buku kecil bernama diary itu selalu setia menjadi tempatku bercerita ala bocah ingusan.


***
Siapa yang sangka sampai aku menggunakan baju putih birupun, aku masih senang berkisah pada si diary. Dan kini gilirannya kisah cinta monyet yang mendominan dalam ceritaku pada si diary.
Mungkin kalian berpikir  “setebal apa buku diary itu?” atau “seberapa lusuhnya buku yang menemaniku itu sejak SD.” Tidak, diary tidak tebal, tidak juga lusuh. Karena saking serignya aku bercerita halaman demi halaman mulai penuh. Hingga pada akhirnya aku selalu meminta uang untuk membeli yang baru. Lalu “bagaimana nasib buku diary lamaku?”. Katanya cinta... kok diganti?
Mungkin aku mengganti satu persatu, tapi aku tak pernah membuang yang lama,ataupun menaruhnya sembarangan. Tapi aku selalu mengumpulkan mereka disatu tempat, dan disaat aku butuh aku mengambil semua dan menaruhnya disisiku.
“Dear Diary, hari ini aku kacau sekali. Aku tak mengerti dengan apa yang tengah kurasa. Deg-degan tentunya.” Diary masih tak bergeming, namun dia ikut tersenyum melihat  mimik wajahku.
“Kamu tahu betapa bahagianya? Saat dia tersenyum manis, dan aku hanya bisa terdiam. Meski hatiku luluh lantah” aku masih terus bercerita dan diary selalu setia mendengar.
“Ya, aku tahu betapa kamu bahagia. Lihat saja pipimu! Merah merona.” Tiba-tiba aku mendengar bisikkan dari si diary. Ternyata dia benar-benar mempehatikanku selama ini.
Aku mengubah posisiku dari yang tadinya tengkurap, menjadi terlentang. Lalu kuangkat diaryku tinggi-tinggi. Dan kupandangi dia, dia masih ikut tersenyum.
Dan sejak itu aku mulai cinta pada diaryku,  semakin cinta lebih tepatnya. Dan memang cinta itu gila. Hingga membuatku tak sadar bersenang-senang dengan diary itu nampak  gila.
***


                Ini adalah pertengahan semester dua, kelas dua smp. Masalah mulai datang. Seperti  biasa yang pertama aku kunjungi adalah pendengar setiaku, si diary.
“Kenapa sedih?” Tanya si diary keheranan, saat menemukanku tengah berbaring bercucuran air mata.
“Dia punya cewe” jawabku singkat sembari ingus-lagi-lagi- bergelantungan dihidungku.
“Sudah jangan bersedih, ceritalah padaku...”
“Jadi... bla bla bla” akupun bercerita atas permintaan diary. Degan air mata yang tak bisa kubendung, aku masih saja bercerita. Pada saat aku sudah tenang, diary tersenyum meski nampak lusuh.
OMG aku melukainya, tanpa sadar saat aku menangis. Air mataku menimpanya, membasahi tubuhnya, dan membuat lusuh penampilannya.  Tapi dia tetap setia –lagi-.
Tulisanku yang kutulis dengan spidol merah, menjadi kabur, bahkan jadi banyak noda disekujur tubuh diary. Aku ketakutan, yang bisa kulakukan hanya memeluknya. “Diary maafkan aku,” Ucapku berbisik sambil memeluk erat tubuhnya.
***
Kelas tiga SMP aku sudah mulai suka cowok ini, cowok itu. Sebel kesini dan kesitu. Dan diary sudah hafal betul pada mereka-meraka  yang selalu aku ceritakan. Bahkan kalau ada yang aku gak suka, diary ikut gak suka.
Suatu hari, terlintas pikiran tentang sebuah nama untuk si diary. “Kenapa tidak sejak dulu aku menamaimu?” Diary hanya menggeleng.
“Baiklah... jadi namamu adalah MR..” alisku terangkat sebelah, saat otakku mengkerut mencari sebuah nama “YYS” ucapku senang.
“MR.YYS? apaan tuh?” tanya diary nampak kecewa
“Itu inisial tiga orang yang spesial, inget kan? dan karena kamu juga sama spesialnya, maka aku namain kamu MR.YYS”
***
Hari ini aku sedih, masalah yang timbul diusia anak SMA membuatku putus asa. Jangankan menulis, untuk bergerakpun aku enggan. Yang kulakukan hanya menangis bersama bantal –teman baruku- kini dialah yang selalu menemaniku dalam tangisan.
Beda disaat amarah memuncak, tembok tak bersalah itu menjadi teman. Dan satu-satunya yang mau diajak berantem denganku. Cuman dia yang mau aku pukuli dan aku maki-maki.
***
Hari ini aku tengah bersantai dikamarku. Bantal dan tembok biru tak menjadi sasaranku hari ini. Aku hanya sedang duduk-duduk, namun rasanya ada yang tengah memperhatikanku dari dalam laci lemari bajuku.
Aku diamkan untuk sesaat, namun pada akhirnya aku menengok dan mendekati. Ketika kubuka laci lemariku, mereka tersenyum. MR.YYS dan para diary kecilku tersenyum, wajah mereka begitu bahagia.
“Kami selalu setia menunggu kamu,” ucap MR.YYS membuatku menyesal menelantarkan mereka.
“Kami selalu melihatmu menangis, tertawa, bahagia, jatuh cinta dan segala rasa yang entah sejak kapan tak kamu bagi lagi pada kami” kata diary lain kecewa.
“Maafkan aku” aku membawa mereka keluar dari laci, menaruhnya diatas pangkuanku. Membuka halaman satu persatu para diaryku. Sekarang giliran mereka yang berkisah, tentang seorang anak perempuan yang selal berbagi ceritanya pada mereka.
Lalu aku tertawa mendengar kenangan itu, akupun terkekeh saat melihat diary yang penuh warna ceria dari gambar-gambar yang aku gambar diakhir ceritaku, belum lagi stiker yang ditempel disudut-sudut halaman.
Hingga aku tertegun pada satu halaman.
“AKU MENCINTAI MR.YYS DAN DIARYKU SEMUA, KARENA MEREKA TEMAN SETIAKU”
Air mataku mengalir perlahan, kupeluk satu persatu diaryku. Aku masih mencitai kalian...

tulisan ini diikutkan dalam GA Oom Alfa and Friends. info lebih cek: http://ariesadhar.com/giveaway-oom-alfa-and-friends/?blogsub=confirming#blog_subscription-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sudah baca? jangan lupa tinggalkan komentar ya kawan :D